Pengharuh Perubahan Iklim Terhadap Laut

Sekarang kan musim hujan tentu saja dong iklim akan berubah, Apa sih pengaruhnya bagi kehidupan Laut ?????
Perubahan iklim terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50-100 tahun. Meskipun perlahan, dampaknya sebagaian besar permukaan bumi menjadi panas.Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. Ancaman iklim global sudah menjadi kepedulian komunitas internasional. Berbagai kalangan sudah menggelar pelbagai pertemuan multilateral maupun regional untuk menghadapi ancaman itu. Terakhir, pertemuan Konferensi Perubahan Iklim Desember 2007 di Bali. Pertemuan World Ocean Conference (WOC) yang akan berlangsung 11-15 Mei 2009 di Manado juga mengagendakannya. Hal ini penting karena perubahan iklim global berdampak serius terhadap kehidupan nelayan tradisional di negeri ini. Setidaknya ada dua fenomena ekstrem terhadap lautan akibat perubahan iklim global yakni kenaikan suhu air laut dan permukaan laut.
Kenaikan suhu air laut, pertama, memengaruhi ekosistem terumbu karang yang menjadi fishing ground dan nursery ground ikan yang hidup di wilayah itu. Ikan-ikan yang hidup di daerah karang akan mengalami penurunan populasi. Hasil penelitian Ove Hoegh-Guldberg yang dipublikasikan di jurnal Science edisi Desember 2007 meramalkan bahwa akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50 persen biota laut. Bahkan, memprediksikan apabila suhu air laut naik 1,5 0C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnakan 98 persen terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Barangkali nantinya di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan.
Kedua, terputusnya rantai makanan. Gretchen Hofmann (2008), Profesor Biologi dari University of California, Santa Barbara menjustifikasi bahwa pemanasan global (peningkatan suhu dan keasaman) akan berdampak pada hilangnya rantai makanan yang berperan sebagai katastropik yakni organisme pteropoda. Dampak selanjutnya memengaruhi populasi ikan salmon, mackerel, herring, dan cod, karena organisme itu sebagai sumber makanannya. Sementara itu, kenaikan permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas nelayan budi daya di wilayah pesisir.
Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). Akibatnya, nelayan pembudi daya akan mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan sumber kehidupannya.
Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, walaupun perlu riset mendalam. Menurunnya produktivitas udang secara drastis di kawasan itu disinyalir salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim global. Tak hanya itu, naiknya permukaan laut akan menghancurkan kawasan permukiman nelayan yang berlokasi di desa-desa pesisir. Terjadinya fenomena rob yang menggenangi pesisir Teluk Jakarta beberapa waktu lalu adalah fakta empiris. Dampak lanjutannya adalah mewabahnya penyakit menular jenis disentri atau tipes.
Ketiga, perubahan iklim global juga menyebabkan cuaca yang tidak menentu dan gelombang laut yang tinggi disertai badai/angin topan. Di Maluku, misalnya, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah. Tak hanya itu, infrastruktur pedesaan pesisir akan mengalami kehancuran akibat hantaman gelombang maupun badai topan. Para ahli meramalkan pulau-pulau kecil di Pasifik maupun Karibia akan tenggelam akibat kenaikan permukaan laut yang terus meningkat dalam kurun waktu lama.
Ini tak hanya menimbulkan problem demografi akibat kehilangan permukiman, melainkan juga akan memusnahkan spesies endemin di perairan sekitar pulau maupun yang hidup dalam pulau itu. Bahkan, infrastruktur ekonomi maupun sosial yang mendukung kehidupan nelayan akan mengalami hal yang sama (IPCC, 2007). Umpamanya, pelabuhan perikanan, cold strorage, dan kapal ikan. Akibatnya, nelayan penangkap maupun pembudi daya ikan di wilayah pesisir akan miskin selamanya.
Diplomasi Iklim
Penyumbang terbesar dari perubahan iklim global yakni meningkatnya kadar karbon dioksida yang diproduksi oleh industri berbahan bakar fosil (migas dan batu bara), dan kendaraan bermotor. Industrialisasi berbahan bakar ini terutama terjadi di negara-negara maju yang memproduksi barang-barang konsumsi elektronik, dan makanan kaleng, senjata, industri berat dan kendaraan bermotor seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China dan India. Mereka enggan menandatangani emisi penurunan karbon, sehingga membebankannya pada negara berkembang yang secara ekonomi morat-marit.
Negara berkembang umumnya memiliki sumber daya alam hutan dan lautan yang mampu memproduksi oksigen (udara bersih) dari proses fotosintesis. Hutan dan lautan yang memiliki terumbu karang mengikat karbon dalam proses serupa. Asumsinya, karbon dioksida yang dihasilkan negara maju akan berkurang. Padahal, siapa yang menjamin hal itu. Dalam konteks ini, negara maju mempraktikkan politik ”Bad Samaritan” atas sumber daya alam negara berkembang, meminjam istilah Ha-Joon Chang (2007).
Bad Samaritan adalah negara maju mendapatkan keuntungan dari penderitaan negara berkembang yang ditekan untuk tak memanfaatkan sumber daya alamnya dengan dalih demi keberlanjutan ekologis maupun umat manusia. Padahal, negara maju sudah menjerat leher negara berkembang dengan utang maupun politik perdagangan bebas yang tidak adil.
Makanya, negara berkembang semacam Indonesia yang memiliki nelayan sekitar 11 juta jiwa perlu melakukan ”politik diplomasi iklim” untuk menyelamatkan mereka dari tekanan negara maju yang menindas. Politik diplomasi itu adalah meminta negara maju agar menandatangani penurunan emisi gas rumah kaca dan mengurangi aktivitas industrialisasinya jika mau menyelamatkan bumi dan umat manusia. Jika tidak, negara-negara berkembang berhak menolak produk-produk negara maju yang diproduksi dari pabrik berbahan bakar fosil. Selain itu, tak perlu tunduk pada hegemoni negara maju untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam (misalnya hutan, laut dan perikanan) karena mengandung unsur ketidakadilan.
Momentum WOC, hemat saya merupakan ajang bagi Indonesia untuk melakukan ”politik diplomasi iklim” dengan negara maju agar 11 juta nelayan yang menangkap ikan di laut seluas 5,8 juta km persegi serta membudidayakan ikan dan udang dalam rentang garis pantai 81.000 km selamat. Jika tidak, Indonesia akan mengalami penjajahan ekologis (eco-colonialism) secara tragis. Sumber daya alamnya mengalami degradasi serius dibarengi kemiskinan nelayan akibat perubahan iklim yang bersumber dari ulah negara maju.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kenaikan Muka Air Laut.
Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota laut. Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, apabila suhu air laut naik 1,50C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnahkan 98% terumbu karang. di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan. Di Maluku, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah.
Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini membawa banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan. Sehingga akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Terumbu Karang
Dampak perubahan iklim pada kelestarian terumbu karang dunia menjadi perhatian serius dari enam negara di kawasan Coral Triangle (segi tiga terumbu karang dunia-red). Keenam negara kawasan Coral Triangle ini meliputi Papua Nugini, Malaysia, Timor Leste, Kepulauan Solomon, Filipina dan Indonesia.
Dalam sebuah Simposium penyelamatan terumbu karang dari perubahan iklim di Sanur Bali (2/9), Keenam negara sepakat untuk segera mengambil langkah antisipasi bersama. Salah satu langkah Antisipasi yang dipersiapkan adalah mengambil inisiatif membangun jaringan peringatan pemutihan karang (coral bleaching) sebagai upaya mempersiapkan antisipasi kerusakan karang yang lebih parah akibat dampak perubahan iklim.
Delegasi keenam negara juga sepakat untuk mengambil inisiatif untuk merancang protokol adaptasi penyelamatan terumbu karang dari dampak perubahan iklim. Rancangan protokol nantinya diharapkan dapat menjadi acuan dalam mendeteksi munculnya pemutihan karang akibat perubahan iklim.
Peneliti adaptasi terhadap perubahan iklim Asia-Pasifik dari The Nature Concervation  (TNC) Elizabeth Mc Loed menyatakan protokol adaptasi terumbu karang pada dasarnya sangat diperlukan oleh keenam negara karena kawasan coral triangle merupakan pusat terumbu karang dunia. Selain itu ancaman kerusakan terumbu karang akibat dampak perubahan iklim sudah semakin mengkhawatirkan.

“Sangat serius sekali dampak perubahan iklim terhadap terumbu karang, di Great Barrier Reef – Australia ada prediksi mungkin tahun 2050 kalau ini masih berlangsung mungkin ini akan habis” ujar Elizabeth Mc Loed.
Elizabeth menambahkan kerusakan terumbu karang berupa pemutihan karang sebagai dampak perubahan iklim baru akan jelas terlihat apabila terjadi kenaikan suhu air laut antara 1 hingga 2 derajat celsius. Namun demikian kerusakan terumbu karang untuk tiap daerah sangat berbeda karena juga dipengaruhi oleh lamanya panas matahari yang diterima di setiap daerah terumbu karang

Comments

Popular Posts